
Pelatihan Fasilitator Coding dan Kecerdasan Artifisial (KA) baru saja berakhir. Bertempat di Hotel Four Points by Sheraton, Makassar—suasana pelatihan yang hangat namun penuh tantangan telah menciptakan pengalaman yang membekas bagi semua peserta. Dua kata menggema nyaring sepanjang kegiatan: Koding dan KA—versi Indonesia dari Coding dan AI (Artificial Intelligence).
Sekilas, dua istilah ini seperti datang dari masa depan. Tapi sejatinya, mereka adalah kebutuhan hari ini. Bukan besok, bukan nanti—sekarang.
Saya pribadi merasa, kata “koding” kini terasa akrab, seolah kata itu ingin berteman baik dengan setiap guru, setiap murid, dan setiap pemimpi masa depan. Kata itu bukan lagi milik para insinyur teknologi, tapi sudah masuk ke ruang kelas, ke pembicaraan di warung kopi, dan bahkan ke percakapan di rumah.

Koding: Alfabet Baru Abad Ini
Bayangkan ini: Belajar koding seperti belajar alfabet untuk menulis buku. Tanpa alfabet, kita tak akan bisa menuangkan ide. Tanpa koding, kita hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan teknologi yang terus bergerak.
Sementara itu, KA—Kecerdasan Artifisial—adalah hasil akhirnya. Seperti buku yang sudah selesai ditulis. Buku itu bukan hanya bisa dibaca, tapi bisa bicara, bisa menjawab, bahkan bisa menebak apa yang akan kita tanyakan. Luar biasa, tapi juga menantang.
Namun mari kita perjelas: Belajar koding tidak sama dengan belajar KA.
- Koding adalah bahasa,
- KA adalah produk.
Menguasai koding berarti menguasai alat penciptaan. Kita menjadi kreator, bukan sekadar konsumen.

Koding & KA: Seperti Telur dan Ayam
Namun, ada paradoks yang menggelitik. Hari ini, KA bisa membantu menulis koding. Lalu untuk apa kita belajar koding jika KA bisa melakukannya?
Inilah dilema yang membuat banyak orang merasa cukup hanya dengan menjadi pengguna. Tapi di sinilah letak kesalahan besar: kita lupa bahwa kreativitas tidak pernah otomatis. Mesin bisa meniru, tapi arah dan makna tetap milik manusia.
Koding dan KA seperti telur dan ayam—saling melahirkan. Tapi kreativitas manusia hadir di antara keduanya, sebagai jembatan yang menentukan arah dan nilai dari teknologi yang diciptakan.
Tantangan Melahirkan Solusi
Saya mulai menyadari bahwa kebutuhan manusia selalu melahirkan masalah, dan di antara masalah itulah ruang kreativitas terbuka lebar. Teknologi, termasuk koding dan KA, hadir dari keinginan manusia menyelesaikan masalah.
Jadi, tugas pendidikan bukan menjauhkan anak-anak dari masalah, tapi justru membimbing mereka ke ujung-ujung masalah itu, agar mereka bisa tumbuh sebagai pemecah masalah, sebagai inovator sejati.

Contoh dari Anak 14 Tahun
Saya teringat sosok Siddharth Nandyala, remaja 14 tahun dari Dallas, Texas. Ia menciptakan Circadian AI—aplikasi yang bisa mendeteksi penyakit jantung hanya dari suara, dalam waktu 7 detik. Bukan dari rumah sakit, bukan dari laboratorium canggih, tapi dari imajinasi dan keinginan untuk menjawab masalah nyata.
Ia tidak menunggu disuruh. Ia tidak menunggu kurikulum. Ia langsung menembus batas.
Dan ia menjadi yang pertama di dunia.
Indonesia: Mulai dari Sini
Kita di Indonesia sedang merintis jalan. Koding baru masuk ke sekolah-sekolah. KA sudah ada di genggaman anak-anak kita—di ponsel, di media sosial, di game—tapi mereka belum tahu bagaimana KA bekerja, dan dari mana asalnya.
Mereka masih sebatas pengguna. Padahal, masalah di negeri ini lebih kompleks. Seharusnya, ruang kreativitas kita juga lebih luas.
Namun ada syaratnya:
Jangan hanya mengajarkan cara mengklik. Ajarkan cara menciptakan sesuatu untuk diklik.
Masa Depan Milik yang Mengerti Bahasa Mesin
Koding adalah jalan menuju masa depan. Dan meski KA bisa menulis koding, hanya mereka yang mengerti koding yang bisa memimpin KA.
KA bisa menjadi alat luar biasa, tapi arah penggunaannya tetap di tangan manusia. Dan kita tidak bisa mengarahkan apa yang tidak kita mengerti.
Menjadi Pencipta, Bukan Sekadar Pemain
Jika kita tidak segera bertindak, anak-anak kita hanya akan menjadi pengguna yang terampil—seperti seseorang yang sangat pandai bermain gitar, tapi tidak pernah menulis lagu. Sementara itu, dunia sudah bergerak menuju era Prompt Engineering, Deepfake, Generative AI, dan teknologi yang lebih maju.
Dan kita? Masih sibuk berdebat soal penting tidaknya koding dalam kurikulum.
Penutup: Pilihan Ada di Tangan Kita
Kita memegang anak panah bernama teknologi. Arahkan ke masa depan, atau biarkan ia melesat tanpa kita.
Ajari anak-anak menulis koding, agar suatu hari mereka bisa menulis masa depan bangsa ini.
Karena masa depan bukan menunggu, tapi diciptakan.